Pemberontak Kecil di Jalanan

oleh : Em Amir Nihat

Di pinggiran perempatan lalu lintas itu, dengan suara hiruk pikuk mesin-mesin mobil, motor, truk menderu membuncah kepulan asap yang berhenti bersuara untuk sejenak mengambil arah pandang menunggu lampu hijau menyala. Di momen itulah saat lampu merah menyala, aku bersama Otoy dan Pepenk mengamen dengan bermodal gitar kentrung. Sudah seminggu ini kami belum mandi tapi itu tidak masalah. Kami bahagia mengamen di pinggiran jalanan. Baju bolong-bolong, telinga yang dipiercing, tubuh penuh tato bahkan pepenk seluruh wajahnya di tato, celana ketat bolong-bolong, kalung rantai dan potongan rambut Mohawk yang penuh dengan ketombe.


“Penk, Yuk. Jangan ngelamun mulu lu.” Teriakku


Kami bergegas mendatangi mobil CRV. Kami menyanyikan lagu punk. Negri ngeri-nya Marjinal. Kami tahu menjadi anak punk tidak mudah bahkan banyak yang membenci kami. Dianggap sampah masyarakat, makhluk hina dsb sudah biasa kami dengar.



Dua tahun yang lalu sebelum aku pergi ke jalanan. Rumahku seperti neraka. Bapak dan ibuku tidak pernah menganggap ada kehadiranku. Mereka selalu ribut bahkan dalam urusan sepele sekalipun. Setiap hari selalu ada teriakan demi teriakan. Marah. Benci. Bahkan untuk sesekali menanyai kabarku pun tidak pernah, apalagi untuk sekedar mendengarkan cerita keluhku. Itu mustahil.


“Goblog! Kau taruh apa di minumanku ini, Par. Ini minuman apa tai!” bentak bapak kepada ibu.


Ibu yang tidak terima perlakuan bapak balas menampar wajah bapak dan sejurus kemudian bapak menempeleng wajah ibu. Hidung mengeluarkan darah segar. Bapak pun pergi. Ibu terkulai dan menangis. aku yang melihat kejadian itu pun murka. Marah. Aku benar-benar tidak menemukan kebahagiaan di rumah maka aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku menggelandang di jalanan. Kadang kehujanan, kadang kepanasan. Makan tidak tentu. Sakit. Sampai aku bertemu dengan Otoy dan Pepenk ketika mereka sedang asyik mabok dan rokokan di tepian kali. Anggur merah menemani mereka. Aku diajak gabung. Aku diterima sebagai teman dan aku benar-benar menemukan rumah semenjak itu.


Menjadi punk benar-benar tidak mudah. Tetapi aku bahagia. Suatu hari aku pernah selintas ingin pergi ke masjid karena punya hajat kencing, aku pikir masjid adalah tempat orang terbuang sepertiku dan ternyata anggapanku salah. Aku diusir dari masjid gara- gara aku berpenampilan anak punk. Masjid mencari sumbangan di jalanan tetapi anak jalanan yang masuk masjid dicurigai. Masjid tidak menjadi oase bagi para pendosa yang mau mengadu, seolah-olah masjid tempat orang suci, padahal masjid adalah tempat bersuci. Tempat membersihkan diri. Aku sangat membenci orang yang mengusirku, ia berpakaian jubah panjang berjenggot tetapi hatinya iblis. Untuk sekedar numpang buang air kecil pun dilarang. “Anjing kau!” teriakku pada bapak berpakaian jubah itu. Lalu pergi dan terpaksa kencing di bawah pohon.


Lain hari. Aku sedang naik angkot. Seluruh penumpang waspada kepadaku. Dikira aku ini pencopet dan penjahat. Itu terlihat dari sorot mata mereka yang memandang jijik padaku. Memuakan.


“Pengangguran merebak luas, kemiskinan meraja lela, pedagang kaki lima tergusur, teraniaya” aku menyanyi. Sementara Pepenk main gitar kentrung sedangkan Otoy bawa kendang kecil.


“Makasih. Pak” dua ribuan terulur ke tanganku. Aku masukan ke saku celana. Kami lanjut ke mobil berikutnya.


Sore datang dengan nuansa senjanya. Angin bersemilir pelan. Hangat. Seperti ada kebahagaiaan yang akan datang. Pikirku. Tiba-tiba ada lelaki cukup tua mendatangi kami. Beliau memakai kaos hitam, celana jeans dan topi biru.


“Boleh aku ikut gabung?” tanyanya kepada kami


“oh boleh-boleh, Pak. Tumben-tumben nih ada orang yang mendatangi kami. Biasanya mereka memandang kami layaknya sampah dan anjing” balas otoy


Aku menepuk jidat. “Duuhh!”, Otoy memang tipikal orang yang blak-blakan macam itu. Kemudian aku dan Pepenk meminta maaf atas ucapan otoy yang barangkali menyinggung perasaan.


“Boleh kenalan? Nama saya Halim Ambiya. Boleh dipanggil Pak Alim. Nama adek-adek siapa?”


“Pepenk”. “Otoy” aku “Boim”.


Pak Alim kemudian mengeluarkan box berisi makanan dan memberikannya kepada kami lantas kami makan bersama. Ternyata sangkaanku benar. Kebahagiaan datang hehe.


Seminggu Pak Alim mendatangi kami, memberikan makanan kepada kami, ikut nimbrung mendengarkan cerita-cerita kami sehingga kami pun merasa akrab dan dekat. Kami menjadi seperti sahabat walau terpaut jarak usia. Di hari ke-7 itu, Pak Alim mengajak kami ke rumahnya untuk sekedar main silaturahim.


Kami bergegas kesana. Di rumahnya itu, Aku pepenk dan Otoy kaget bukan main. Kami melihat anak-anak punk seperti kami berkumpul disana. Ada yang sedang belajar ngaji iqro, ada yang sedang rokokan, ada yang sedang bermain bulutangkis, ada yang sedang mengerjakan sablonan, ada yang sedang mabok di pinggiran rumah, dll. Kami seperti menemukan rumah. Kami seperti menemukan kebahagiaan yang selama ini kami tidak dapat.


“Pak ustadz kapan ngaji Qur’annya? Gua udah lancar nih iqronya” ucap salah seseorang.


Tidak kusangka ternyata yang menemui kami adalah seorang ustadz. Seorang guru ngaji. Kami kira orang yang bergelar ustadz itu yang suka mengharamkan kami, mensesatkan kami, menghardik kami. Aku salah kira. Aku mulai penasaran dengan orang ini. Pak Alim siapakah kau ini?



Malam menjelang, cahaya rembulan datang.

Di teras rumah Pak Alim. Aku, Pepenk dan Otoy sedang ngobrol dengan Pak Alim. Kami yang sedari tadi minum kopi join, tiba-tiba Pak Alim ikut join kopi kami. Ia datang tidak menjadi guru ngaji. Beliau datang kepada kami jadi sahabat. Jadi teman.


Bergantian aku, Pepenk dan Otoy curhat segala keluh kesah kami. Segala pengalaman kami. Rasanya baru pertama kali, aku menemukan seseorang pendengar yang sabar seperti Pak Alim. Ia tidak menggurui kami. Beliau juga tidak mengharam-haramkan, mengkafir-kafirkan dan mensesatkan kami. Beliau sangat sabar. Kadang diselingi tawa kami bercerita walau lebih banyak kami bercerita tangis. Bercerita air mata. Ia ikut menangis saat kami menceritakan masa lalu kami yang menyedihkan dan memilukan.


Lantunan adzan Isa terdengar di pengeras suara. Allahukabar.. Alllahuakbar..


Pak Alim mengajak kami ikut sholat. Aku memutuskan sholat di luar saja. Tidak di dalam rumah. Aku ingin sholat diatas rumput, supaya bisa melihat langit. Bisa mendengar bunyi semesta. Kelakarku. Dengan sabarnya Pak Alim membolehkan. Aku kerasan di tempat itu.


Setelah selesai sholat, ada sesi obrolan. Pak Alim menyampaikan nasihat-nasihatnya. Ia duduk melingkar berkumpul bersama semua anak punk asuhannya. Total ada 89 anak termasuk aku, Otoy dan Pepenk.


“Kita semua berkumpul disini tidak untuk dikenal di bumi tetapi semoga dikenal di langit. Kita sujud berbisik ke bumi tetapi terdengar ke langit. Saat kita bisa ‘menerima’ semua hal maka kebahagiaan perlahan tumbuh. Butuh waktu memang, namun saat kita bisa menerima segala hal yang terjadi, saat kita ikhlas dengan segala hal yang menimpa kita, kebahagiaan dari langit akan jatuh layaknya rintik hujan.”


Pak Alim mengajak kami untuk kembali menemukan siapa sejatinya kami. Tentang disadarkan untuk pulang dengan kesadaran BerTuhan dan pulang kembali ke rumah. Menerima semua masa lalu, meminta maaf dan berbenah. Aku merasa dilahirkan kembali.

Tinggalkan komentar