Islam yang Saya Kenal

oleh : Em Amir Nihat

Saya sangat bersyukur kepada Allah bisa merantau. Bisa melihat betapa pluralnya Islam. Betapa beragam dan macamnya ekpresi-ekspresi Islam. Ternyata masih banyak yang belum saya tahu dan masih banyak yang harus saya cari tahu. Jadi semakin kesini saya semakin sadar sesadar-sadarnya betapa bodohnya saya. Saya tidak bisa membaca kitab kuning dengan disiplin ilmu nahwu shorof bukti betapa bodoh dan gagal totalnya saya. Bahasa Arab tidak tahu. Mondok juga saya tidak pernah. Hanya pernah ngaji sampai STM.  Bodoh kuadrat saya.

Sebelum merantau, saya mengira Islam itu ya seperti saya. Hanya tahu dan meyakini bahwa Islam yang benar ya Nahdliyin. Apalagi kalau melihat hal yang baru yang mengganjal yang tidak sama dengan yang saya ketahui. Pasti ada kecenderungan untuk mendebat. Apalagi kalau ada yang membid’ahkan, mensesatkan amalan – amalan seperti yasinan, tahlilan bahkan saya punya pengalaman ketika selesai sholat di Masjid Agung Petanahan saat mau bersalaman tangan saya diacuhkan dan ada gerak tanda menolak salaman. Tentu saya kaget. Jiwa saya marah.

Sampai saya menemukan kesadaran bahwa orang yang cenderung menyalahkan, membid’ahkan, bahkan mengkafirkan pasti orang itu belum meneliti betul secara langsung. Belum tabayun secara langsung. Ibarat berita hanya membaca setengah bacaan sudah memberikan kesimpulan padahal harusnya ia membaca seluruhnya. Bahayanya tentu tidak tertangkapnya maksud. Sayangnya kebiasaan membaca tidak sampai tuntas atau hanya fokus pada judul saja  langsung menilai kesimpulan sendiri menjadi hal lumrah bagi generasi sekarang. Betapa susah dan beratnya berjuang lewat literasi.

Saya memang tumbuh di lingkungan Nahdliyin yang teguh dan kuat. Alhamdulillah bapak saya juga pernah ngaji sehingga sedikit-sedikit saya kecipratan ilmu dari beliau. Saya juga pernah ngaji di guru saya Kyai Hadid yang dari beliaulah saya mulai meraba-raba kitab kuning. Mulai berdekatan dan bermesraan dengan kitab kuning. Kitab Safinah dan ada juga kitab Sulam Taufiq. Kitab Fiqih yang sangat penting menurut saya. Belajar dan ngangsu kawruh kepada beliau. Jadi ibarat rumah maka Nahdlatul Ulama adalah rumah saya dan tentu hal itu takkan berubah selama saya hidup.

Namun ditanah rantau saya melihat Islam semakin plural. Beragam warna. Beragam rumah. Padatan ormas. Madzab. Dari persoalan sholat saja saya mendapati berbagai hal perbedaan. Misalnya saat imam membacakan alfatihah ada yang membaca jahar bacaan basmalah ada juga yang melirihkan bacaan basmalah. Kita tidak perlu debat sebab semua ada dalilnya. Saya meyakini dan mengikuti ajaran kyai saya bahwa basmalah dijaharkan tetapi tidak lantas saya menyalahkan yang tidak jahar sebab mereka juga punya dalil. Misalnya lagi sholat tarawih 20 rekaat atau 8 rekaat. Saya mengikuti kyai dan guru saya 20 rekaat dan saya pun tidak menyalahkan yang melakukan 8 rekaat.

Semua perbedaan lain perkara fiqih ini aslinya bukan perbedaan ormas. Salah besar andai kita meyakini basmalah jahar itu NU basmalah tidak dijaharkan itu Muhammadiyah. Misalnya anggapan bahwa Qunut itu NU tidak Qunut Muhammadiyah. Karena memang perbedaan-perbedaan ini jauh sudah ada di madzab-madzab. Ormas yang memiliki struktur kepengurusan jelas berbeda dengan madzab yang cangkupannya lebih luas karena menyangkut disiplin keilmuan. Artinya memang diperlukan hati yang luas untuk mengakui bahwa yang benar bukan hanya kita tetapi juga ia. Yang salah bisa jadi bukan hanya ia tetapi juga kita. Meyakini kebenaran pendapat kita tanpa menyalahkan pendapat yang lain.

Tetapi untuk meluaskan pandangan bahwa saya punya rumah yang saya yakini yaitu NU namun saya juga menghargai pendapat dan menghormati pendapat Muhammadiyah, Persis, LDII, MTA dll tidak semua bisa melakukan hal itu. Artinya kecenderungan meyakini dirinya paling benar dan yang lain salah masih ada ketika kita hanya fanatik dengan rumah kita sendiri. Padahal madzab pun beragam dan semua saling menghargai dan tidak menyalahkan.

Betapa susahnya menghargai pendapat orang lain juga alangkah jauhnya diri kita dengan hadist “Perumpamaan kaum Muslimin dalam urusan kasih sayang dan tolong-menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas.” Karena diam-diam secara tersirat kita menambahkan di kata muslimin dengan tambahan nama ormasnya masing-masing. “Perumpamaan kaum Muslimin ( NU / Muhammadiyah/Persis/MTA/LDII/dll ,) dalam urusan kasih sayang dan tolong-menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas.”

Jadi betapa jauh dan susahnya perjuangan ukhuwah itu. Betapa susahnya menyadarkan bahwa saya meyakini benar dan saya tidak menyalahkan apa yang kau yakini. Kita lebih suka bilang saya paling benar dan kau salah. Kita lebih suka bilang saya paling sunah dan kau ahli bid’ah. Maka betapa jauhnya kita dengan perjuangan para sahabat. Mereka berjuang atas nama Islam sedangkan hari ini kita berperang justru sesama Islam sendiri dengan menghantam dan menyalahkan pendapat orang lain.

Seri ukhuwah :

Islam A + Islam B = Islam C

Mengapa Islam Begitu Beragam ? Bagaimana Kita Menyikapinya ?

Tinggalkan komentar