Identitas Murni dan Identitas Budaya

oleh : Em Amir Nihat

Saat manusia lahir identitas murni atau aslinya adalah Hamba Allah. Orang yang secara kehidupan mengabdi kepada Allah. Tujuannya adalah Allah. Lantas kemudian identitas yang sifatnya hakikat itu perlahan – lahan tercampuri identitas lain. Ia menyadari apakah ia laki- laki atau perempuan. Ia menyadari ia adalah anak kecil kemudian anak puber kemudian dewasa. Perlahan – lahan identitas budaya mulai merasuki dirinya baik disadari atau tidak disadari. Misalnya ia mendapati ia orang Desa A, Negara A, sekolah di SMK A, suka klub sepakbola A, suka Tokoh A, Bagian dari Ormas A, Pekerjaan A, Hobi A, dst. Kita polakan saja bahwa segala unsur itu adalah identitas budaya kita.

Identitas budaya itu kemudian membawanya ketitik ekslusifme dimana sudut pandang kehidupannya akan mengarah ke apa yang ia yakini menjadi identitas budayanya sehingga melihat yang berbeda darinya adalah bentuk musuh atau lawan. Seolah semua menjadi terkotak-kotak. Bermusuhan.  Yang tidak sepaham dengan sudut pandangnya dianggap bukan teman. Semua bentuk kejadian disudutpandangkan dengan pemahaman identitas budaya. Goalnya semua menjadi padat. Hanya dilihat hitam dan putih. Benar atau salah.

Padahal kehidupan ini tidak melulu hitam dan putih. Sebab ada opsi yang lainnya yakni abu – abu. Ada yang hitam. Ada yang hitam agak putih. Ada yang putih agak hitam. Ada yang putih. Jadi kehidupan ini begitu cair. Begitu lentur. Misalnya kita harus bisa mengatakan ia benar walau tidak sama dengan ormas kita. Atau dia salah walau sama dengan ormas kita. Yang dilihat bukan identitas budayanya tetapi murni dari obyektifitas kejadiannya.

Orang yang punya sudut pandang obyektif oleh orang yang terpapar fanatisme identitas budaya itu dianggap orang yang plin plan. Misalnya Lain waktu ia bicara orang itu benar. Lain waktu lagi ia bicara orang itu salah. Perbedaan sudut pandangnya amat jelas. Orang yang subyektif pada identitas budaya akan melihat kebenaran subyektifnya walau secara obyektif salah tetap dibela, sedangkan orang yang obyektif akan melihat kejadian obyektifnya entah identitas budayanya sama ataupun tidak.

Saling sengkarut identitas budaya ini jika disikapi dengan santai, paling banter hanya akan menghasilkan ngrumpi atau rasan-rasan tetapi jika disikapi dengan kaku bisajadi akan memunculkan permusuhan bahkan peperangan. Tengok saja perdebatan di media sosial itu semua kebanyakan berangkat bukan dari pola fikir obyektif tetapi pola fikir subyektif. Kebenaran identitas budayanya dijadikan pintu rumahnya. Dijadikan sudut pandang kebenaran dirinya.

Sayangnya identitas budaya itu bukan murni berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Identitas budaya hanyalah faktor luar yang ikut mewarnai sudut pandang dari orang itu. Padahal sejatinya manusia identitas asli atau murninya adalah Hamba Allah. Artinya segala tindak tanduk, ucapan dan perilakunya harus bertujuan demi mencari keridhoan Allah. Goalnya adalah orang yang menyadari identitas murninya ini akan mengaitkan kejadian apa saja dengan Allah SWT kemudian eksekusi dari kejadian itu berharap Ridho Allah. Orang yang menyadari bahwa Ia Hamba Allah mungkin dalam kehidupannya ia akan sadar ada peran identitas budaya di dalam dirinya namun semua itu hasilnya harus dalam koridor keridhoan Allah.

Kesadaran identitas murni  ini kemudian membawanya ke dalam kesadaran bahwa dunia ini yakni segala kehidupan ini merupakan ujian baginya sehingga goalnya ia akan menjadi cahaya bagi dunia. Ia memangku dunia. Ia menjadi khalifah fil ardl. Sedangkan orang yang tidak sadar identitas murninya ( Hamba Allah ) ia hanya akan menjadi budak bagi dunia. Ia tenggelam dalam identitas palsu budayanya sendiri. Pertanyannya adalah bisakah kita menghadirkan identitas murni kita ketika kita sedang menjalani identitas budaya kita ?

Purwakarta, 4 Januari 2022

Tinggalkan komentar