Mencalonkan Diri Jadi Pemimpin

oleh : Em Amir Nihat

Dalam urusan pemilihan calon kepala desa, camat, bupati, gubernur, presiden dan wakil rakyat di kita lebih banyak yang mencalonkan diri daripada dicalonkan rakyat. Sistem pemilihan kita menggunakan metode mencalonkan diri yang efeknya siapapun orangnya entah itu jahat pun bisa maju ke arena pemilihan.

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” H. R Bukhori 7164

Rosululloh SAW dengan tegas melarang siapapun saja yang mencalonkan diri karena beban tanggungjawabnya akan dipikulnya sendiri sedangkan andai dicalonkan atau diamanati atau dicarikan oleh rakyat karena kepantasan, kebijaksanaan dan pengayomannya maka Allah akan menolongnya.

Sayangnya hari ini cara ini hilang. Pertama, karena doktrin bahwa “politik itu busuk dan jangan dekat-dekat dengan politik” sehingga orang-orang baik yang punya jiwa kebijaksanaan dan pengayoman dan bisa memimpin malah mundur dan menjauh dari arena pemilihan. Akibatnya tentu orang-orang culas akan naik ke arena pemilihan dan itu terjadi sekarang.

Kedua, hilangnya peran begawan, sesepuh, ulama, dan tetua sehingga rakyat jalan sendiri-sendiri tanpa kontrol padahal justru peran sesepuh dan ulama sangat dibutuhkan untuk mencarikan sosok yang pantas untuk dipilih. Artinya para begawan, ulama dan tetua punya tanggungjawab mencarikan sosok. Disini akhirnya sosok pun dipilih bukan mencalonkan.

Ketiga, tidak ada informasi yang akurat dari para calon karena mayoritas mereka mengiklankan diri hanya sebatas jargon, misi visi dan segala omong kosong janji-janji. Apalagi yang mengangkat mereka adalah partai politik yang orientasi utamanya hanya pada kekuasaan semata. Jelas sekali peran para sesepuh, tetua, begawan dan ulama hilang disini. Ironisnya partai politik disokong oleh olgarki sehingga prinsip balas budi pun ada sehingga hilanglah sensitifitas kebenaran dan kebijaksanaan. Kepemimpinan dijadikan ladang untuk bisnis.

Jika kita mau runtut dari awal negara kita berdiri. Cara pemilihan kita yang katanya demokratis justru malah kebablasan. Orang jahat atau mantan koruptor bisa saja mencalonkan diri dengan alasan demokrasi dan HAM. Efek besarnya para oligarki besar pasti akan ikut bermain karena dengan menguasai kursi kekuasaan maka akan dengan mudah mengontrol bisnis dan agendanya. Rakyat tidak bisa berbuat banyak karena kalah di kursi kepemimpianan dan demo atau aspirasi rakyat hanya dijadikan suara sumbang bagi para pemimpin. Miris.

Untuk menjawab semua keluh kesah mengerikan itu maka perlu digemborkan lagi doktrin politik yang baik, kesadaran bahwa berjuang di jalur politik itu fardu kifayah harus ada yang memikulnya, peran ulama begawan sesepuh perlu dihadirkan kembali supaya muncul sosok yang dipilih, dan semua rakyat harus andil dan tidak apatis mau bekerja sama berjuang. Kritis dan melengkapi. Secara teori memang mudah tetapi bisakah kita merealisasikan hal itu? Bisakah kita menghadirkan sosok negarawan? Bisakah kita mendorong para sesepuh, begawan, ulama untuk mencarikan sosok yang mumpuni?

Karawang, 9 Juli 2021

Tinggalkan komentar