Awal Mula Perpecahan Umat, Akar Sejarah Konflik Sunni – Syiah dan Bagaimana Kita Bersikap terhadap Hal itu ?

oleh : Em Amir Nihat

Akar perang saudara pertama dapat ditelusuri kembali ke pembunuhan khalifah kedua, Umar bin Khattab. Sebelum meninggal karena luka-lukanya, Umar membentuk dewan beranggotakan enam orang, yang akhirnya memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah berikutnya. Selama tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman, dia dituduh melakukan nepotisme. Desas desus fitnah itu digaungkan oleh pembenci Islam  untuk memperokporandakan persatuan Islam  dengan menuduh para Amirul mukminin bersikap tidak adil pun berhasil. Khalifah Usman bin Affan dan akhirnya dibunuh pada tahun 656 tanpa bukti bahwa beliau bersalah. Apalagi ini juga menyangkut kekuasaan dan politik sehingga umat Islam yang notabene mempunyai fraksi-fraksi bisa dengan mudah dipecah belah.

Setelah pembunuhan Utsman, Ali bin Abu Tholib terpilih sebagai khalifah keempat. Para pembenci Islam lagi -lagi menghembuskan propaganda, fitnah dan memprovokasi sesama Umat Islam. Puncaknya adalah Aisyah, Thalhah, dan Zubair atas desakan para pengikutnya yang telah disusupi propaganda akhirnya melawan Ali bin Abu Tholib. Perang ini kemudian dikenal sebagai Perang Jamal dimana pemenang dipihak Ali bin Abu Tholib. Para Umat Islam dalam hal ini kebingungan dan bersedih. Perang sesama Umat Islam menjadi goresan luka yang menyayat hati karena mereka harus melawan sahabatnya sendiri.

Islam ketika itu menjadi semakin terpecah belah lagi tatkala Muawiyyah gubernur di Suriah menyatakan diri melawan kepemimpinan dari  Ali bin Abu Tholib sebagai Amirul Mukminin dengan dalih membalas kematian Usman bin Affan. Kelak Muawiyyah inilah yang merubah pergantian Kepemimpinan Umat Islam dari jalur musyawarah ke jalur dinasti kekhilafahan ( Khalifah umayyah ). Jika diibaratkan hari ini seperti Gubernur menentang dan mencoba menggulingkan presiden untuk kemudian mengambil alih. Lagi – lagi ini ada unsur kekuasaan Umat Islam. Dan lagi-lagi Umat Islam dipecahbelah gara-gara politik. Dan lagi-lagi para provokasi dan pembenci Umat Islam yang tidak suka Umat Islam bersatu inilah biang masalahnya.

Di era ini perang sudah besar. Bukan perang kecil lagi sebagaimana perang Jamal sebab sudah membesar ke daerah Suriah. Kedua pihak akhirnya berperang dalam Pertempuran Siffin pada Juli 657. Pertempuran ini berakhir dengan jalan buntu tidak ada hasil. Umat Islam terombang ambing diantara dua kepemimpinan. Para Sahabat mencoba mendamaikan umat Islam yang sudah banyak jumlahnya tapi itu tidak cukup sebab nyatanya provokasi, desas desus dan adudomba terus digaungkan.

Di era ini kemudian muncul apa yang kita sebut Kaum Khawarij. Kaum Khawarij adalah orang yang rajin sekali beribadah namun minim keilmuan jiwa. Khawarij kemudian seolah-olah mewajibkan yang sunah dan mengharamkan yang mubah. Ini bisajadi berasal dari klaim kesolehan pribadi yang dibawa ke hukum Allah dan ketika ia merasa yang dilakukannya sesuai hukum Allah lalu ia merasa berhak mendikte dan menyalahkan orang lain. Ia membawa hukum Allah untuk mengadili orang lain dan memvonis orang lain sebagai kafir dan sesat sehingga halal darahnya. Cikal bakal ini yang dibawa oleh para teroris berkedok Agama. Dengan dalih ini kaum Khawarij menyatakan bahwa Muawiyyah ( Gubernur Suriah ), Amr bin Ash ( Gubernur Mesir ) dan Ali bin Abu Tholib ( Amirul Mukminin) dinyatakan sesat dan kafir serta halal darahnya. Mereka sepakat untuk membunuh Muawiyyah, Amr bin Ash dan Ali.

Ali berhasil dibunuh oleh Abdullah bin Muljam ( khawarij ) sedangkan Muawiyyah dan Amr bin Ash selamat. Muawiyyah selamat dari Burak ( khawarij ) yang tak berhasil karena dia menunggu Muawiyah akan pergi sholat di masjid Syam. Tetapi, dia hanya menusuk bagian pinggang Muawiyah, bukan perutnya. Burak pun ditangkap dan kemudian dibunuh.

Sementara, Ibnu Bakr ( khawarij ) telah menunggu di bilik mihram berselimut kain supaya bisa ditikamnya Amr yang sedang sholat. Tetapi, rupanya Subuh itu Amr tidak keluar ke masjid karena dia sakit perut.

Dengan terbunuhnya Khalifah Ali maka Muawiyah telah kehilangan lawan utamanya dalam politik. Sehingga, semakin memantapkan dirinya menjadi khalifah.

Di pihak Ali bin Abu Tholib berunding siapa yang pantas menggantikan kemudian diputuskan yang paling pantas adalah Sayyidina Hasan.

Muawiyyah akhirnya datang ke Madinah dengan pasukannya yang dikomandoi oleh Abdullah bin Amr untuk menyatakan diri sebagai Amirul Mukminin. Dalam kondisi yang mencekam itu seolah perang besar-besaran antar Umat Islam terjadi. Sayyidina Hasan legowo dan mau menandatangi kesepakatan dengan Muawiyyah sebab jika tidak akan ada pertumpahan darah yang amat besar di Kota Madinah. Sikap Sayyidina Hasan yang lebih mengutamakan keselamatan seluruh Umat Islam daripada banjir darah antar Umat Islam menjadi torehan sejarah yang luar biasa. Maka tak mengerankan jika kemudian pendukungnya semakin fanatik pada Sayyidina Hasan yang kemudian kita kenal dengan Syiah. Sayyidina Hasan dan  Muawiyah sepakat menandatangi perjanjian damai dengan syarat Muawiyyah harus bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan khalifah yang saleh, Mu’awiyah tidak menunjuk pengganti, menciptakan keamanan publik, dan tidak mengancam Hasan dan para sahabatnya. Perjanjian ditandatangani  pada akhir paruh pertama tahun 41 H.

Bulan Safar tahun ke 50 H, Sayyidina Hasan meninggal dalam usia 46 tahun akibat diracun. Husein bertanya kepada kakaknya siapakah kiranya yang telah meracuninya. Namun, dengan semangat persatuan Hasan menolak memberitahu orang yang telah meracuninya. Ia khawatir adiknya yang berkarakter lebih keras daripada dirinya akan menuntut balas sehingga akan terjadi pertumpahan darah sesama kaum Muslimin.

Banyak argumen atau pendapat siapa yang meracuni Hasan tetapi sebab Hasan tidak memberitahu siapa yang meracuni beliau maka argumen itu masih asumsi belaka. Terlepas dari siapa sebenarnya yang meracuni Hasan dan siapa dalang di baliknya, beberapa saat sebelum ajal menjemput Hasan masih menunjukkan jiwa besarnya tentang pentingnya persatuan di kalangan kaum Muslimin. inilah yang seharusnya dipegang para pemimpin Islam yaitu agar jangan sampai umat yang menjadi korban terpecah belah.

Tapi karena Sayyidina Hasan adalah tokoh yang amat penting dan disegani pendukungnya maka kemudian pendukungnya yang terlalu fanatik menjadi kalap. Inilah cikal bakal munculnya sekte Syiah. Berawal dari penghianatan yang dilakukan oleh Muawiyyah yang mengangkat Yazid sebagai Khalifah.

Kebencian pendukung Hasan yakni Syiah semakin menjadi-jadi tatkala Yazid menjadi khalifah Umat Islam sebab di era Yazid setiap Imam khotbah di akhir khotbahnya diwajibkan untuk mencaci maki dan menjelekan Ali bin Abu Tholib. Siapa yang menolak maka akan dihukum dengan dibunuh. Di era Yazid pula peristiwa paling mengiris-iris Umat Islam terjadi yakni terbunuhnya Sayyidina Husain di Karbala. Saya tidak akan menceritakan cerita ini karena sudah diluar nalar dan sangat – sangat mengerikan. Maka menjadi tidak aneh jika para pendukung Sayyidina Husain marah dan kalap pada Yazid sampai hari ini. Inilah awal mula terpecahnya Umat Islam.

Tapi apakah sebagai Umat Islam kita akan terus menerus melanggengkan tragedi ini sebagaimana yang dilakukan Orang Syiah dengan tradisi memperingati Karbala. Padahal Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain meskipun dalam sejarahnya dikhianati dan dibunuh tetapi justru beliau- beliaulah yang menekankan agar umat islam menjaga persatuan, mencegah perang antar Islam dan jangan sampai umat Islam perang sesama Umat Islam.

Analoginya seperti ini. Jika misalnya kita memiliki sauadara kandung empat lalu diantara empat itu ada yang bertikai. Ada yang bermusuhan. Apakah lantas kita terus menerus melanggengkan permusuhan itu? Tentu tidak. Kita mestinya menyadari saudara kita. Mencoba mempersatukan. Bukan malah terus menerus melanggengkan api dendam. Maka itulah yang dilakukan Sayyidina Hasan. Umat Islam itu satu. Jika ada yang sakit maka yang lain akan merasakan sakit dan berusaha menyembuhkan. Maka semoga sebagai Umat Islam kita melihat sejarah lebih jauh lagi agar kita belajar sejarah. Agar kita mau menjadi pemersatu. Bukan malah mencaci maki satu sama lain.

Pergantian pemimpin berlanjut terus menerus kadang ada unsur kekuasaan dan kadang ada unsur politik juga, sampai kemudian khalifah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi pemimpin Umat Islam. Khalifah yang kelak dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin kelima Umat Islam ini  mempunyai jiwa pemimpin bijaksana, adil dan taraf kepemimpinnya mumpuni. Seakan-akan beliaulah penerus sejatinya Hasan dan Husain sebab beliau lebih mementingkan persatuan Umat Islam, menjaga perdamaian umat Islam bahkan di era beliau ini, tradisi Yazid yang menyuruh menjelekan Ali bin Abu Tholib di setiap akhir khotbah segera dihapuskan lalu diganti pembacaan Q.S An Nahl ayat 90.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِا لْعَدْلِ وَا لْاِ حْسَا نِ وَاِ يْتَاۤىِٕ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَا لْمُنْكَرِ وَا لْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Nahl 16: Ayat 90)

Kita sering mendengar ayat ini dibacakan disetiap akhir khotbah, bukan ? Sejarahnya berasal dari kisah ini. Poinnya adalah kita sebagai umat Islam mestinya berlaku adil, berbuat kebaikan, menolong orang lain, melarang permusuhan antar muslim, menjadi pendamai dan menjadi pihak yang mempersatukan Umat Islam.

Meskipun dalam praktiknya setelah lanjut beberapa generasi syiah telah melenceng dengan konsep imamahnya. Tapi Syiah di generasi awal pastilah akidahnya sama dengan kita yakni Sunni. Pun demikian jika kita Sunni apakah lantas menyetujui apa yang dilakukan oleh Yazid pada Sayyidina Husain. Tentu tidak, bukan? Artinya ini bukan lagi Sunni – Syiah. Ini menyangkut bagaimana Umat Islam dipecahbelah oleh para pembenci Islam dan oleh orang yang rakus akan kekuasan. Jadi, persoalan intinya adalah apakah kita mau menjadi pihak yang mendamaikan dan mempersatukan Umat Islam atau jangan- jangan kita masih berkutat soal salah benar Sunni dan Syiah yang padahal akar perpecahan itu justu digaungkan oleh para provokator, proganda dan pembenci Islam yang tidak ingin melihat Umat Islam bersatu. Apakah kita ingin menjadi seperti Yazid yang menyalakan perpecahan, propaganda dan rakus pada kekuasaan ataukah kita ingin menjadi seperti Umar bin Abdul Aziz yang ingin mendamaikan sesama Islam dan mempersatukan Islam ?

 

Tinggalkan komentar